Pola hidup masyarakat modern serta pembangunan infrastruktur dan industri yang kian marak membuat pemanfaatan sumber daya alam semakin eksploitatif. Banyak negara menjadikan kebijakan ekonomi sebagai kebijakan sentral dan mengabaikan kebijakan lingkungan. Akibatnya lingkungan semakin terdegradasi oleh kepentingan ekonomi semata. Menipisnya kekayaan hayati maupun hewani akan berdampak langsung (lagi) pada kehidupan kita. Pembangunan dengan peningkatan kualitas ekonomi memang terbukti berhasil memperbaiki kondisi ekonomi negara; namun tidak dengan kondisi sosial dan lingkungan. Sebut saja timbulnya polusi, efek gas rumah kaca, serta ketimpangan pendapatan masyarakat. Gagasan blue economy diharapkan dapat menjadi jalan keluar realisasi pertumbuhan ekonomi, mengutamakan keadilan sosial, juga kelestarian lingkungan dan sumber daya alam.
Ekonomi biru merupakan model ekonomi baru untuk mendorong pelaksanaan pembangunan berkelanjutan dengan kerangka pikir seperti cara kerja ekosistem. Intinya mengajak belajar dari alam dan menggunakan logic of ecosystem dalam menjalankan pembangunan (ekonomibiru.com, 2013). Tak hanya menghasilkan pertumbuhan ekonomi, tetapi lebih penting dari itu: menciptakan lebih banyak lapangan kerja sekaligus menjamin terjadinya keberlanjutan. Jika dikaitkan dengan Bali sebagai destinasi pariwisata utama di Indonesia berbasis maritim / pariwisata pantai, tentunya sebagian besar masyarakatnya memperoleh nafkah dari pemanfaatan blue economic.
Membuat Reklamasi Teluk Benoa
Dalam satu dasawarsa terakhir, terjadi trade off antara cepatnya laju pariwisata dan kurangnya kapasitas jalan raya di Bali yang menyebabkan kemacetan sehingga pemerintah membuat kebijakan pembangunan jalan Tol diantara Serangan-Nusa Dua-Tanjung Benoa. Tetapi implementasinya berdampak pada penurunan kualitas lingkungan: mangrove di wilayah perairan Serangan semakin tergerus. Dan ini berlanjut hingga mereklamasi Teluk Benoa. Kini, warga Serangan tidak lagi sepenuhnya menggantungkan sumber penghidupan dari hasil laut karena ikan-ikan konsumsi sudah menghilang dari perairan Serangan. Begitu pula dengan predikat Pulau Serangan sebagai Pulau Penyu akan tinggal kenangan lantaran satwa penyu sudah sangat jarang mendarat di Serangan untuk bertelur. Pulau Serangan sudah menjadi satu daratan dengan pulau-pulau kecil sebelumnya. Tak ada pantai yang landai, alami dan aman untuk habitat Penyu bertelur.
Esensi Teluk Benoa
Reklamasi Teluk Benoa termasuk dalam reklamasi daratan karena akan membuat pulau baru, Berikut kutipan beritanya, “Secara geografis, luas pulau Bali akan bertambah. Pulau baru yang dibangun investor di kawasan ini akan menjadi milik Bali, milik masyarakat Bali“ (Bali Pos, 2013). Pengertian reklamasi daratan atau hanya sering disebut reklamasi adalah proses pembuatan daratan baru dari dasar laut atau dasar sungai. Tanah yang direklamasi disebut tanah reklamasi atau landfill. Pengeringan laut untuk dijadikan pertanian adalah contoh bentuk penghancuran habitat. Di beberapa daerah di dunia, proyek reklamasi baru dibatasi atau tidak lagi diperbolehkan dengan adanya ikatan hukum perlindungan lingkungan. Rencana reklamasi Teluk Benoa berdasarkan surat keputusan nomor 2138/o2-C/HK/2012 terkait reklamasi tempat strategis Teluk Benoa (sudah dicabut pada 16/8-2013), namun SK terbaru 1727/01-B/HK/2013 Rencana Pemanfaatan, Pengembangan, dan Pengelolaan Wilayah Perairan Teluk Benoa selama 2 tahun. Sungguh ironis, sebab jika demikian berarti masih dimungkinkan rencana reklamasi teluk Benoa tersebut untuk dijalankan.
Lalu bagimana dengan konsep Blue Economy pemerintah? Mencanangkan gagasan ekonomi kelautan, tapi begitu getol ingin memperluas daratan dengan mengurangi wilayah perairan yang menjadi tujuan pariwisata dan habitat bagi biota laut, sekaligus memberikan mata pencaharian bagi masyarakat. Di sinilah masyarakat kita merasakan ketidakpastian dari sikap pemerintah yang cenderung abai terhadap persoalan lingkungan. Lantas, apa yang harus kita jalankan dan mana yang harus diutamakan? Sementara tidak ada sosialisasi terkait reklamasi teluk Benoa yang membuat esensinya sendiri tidak memiliki kejelasan.
Mereklamasi Teluk Benoa
Secara geografis, Bali mempunyai kekayaan laut yang luar biasa dan seharusnya mampu menerapkan blue economy secara strategis jika seluruh aset dan potensi kelautan dapat dikelola dan dimanfaatkan secara optimal, sehingga kontribusinya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) bisa jauh lebih besar daripada saat ini. “Seperti diproyeksikan Mckinsey Global Institute, sektor kelautan dan perikanan termasuk 4 pilar utama selain sumber daya alam, pertanian dan jasa, sehingga akan membawa Indonesia menjadi negara dengan perekonomian terbesar nomor 7 dunia di tahun 2030”, kata Menteri Kelautan dan Perikanan sebelumnya, Sharif C. Soetardjo, pada forum APEC 2013 di Nusa Dua Bali (Bali Pos, 5/10/2013).
Penerapan blue economy akan semakin memperkuat pengelolaan potensi kelautan secara berkelanjutan, produktif, dan berwawasan lingkungan serta mendorong pengelolaan sumber daya alam secara efisien melalui kreativitas dan inovasi teknologi. Juga mengajarkan bagaimana menciptakan produk nir-limbah (zero waste), sekaligus menjawab ancaman kerentanan pangan serta krisis energi (fossil fuel). Maka, melalui blue economy, kita bisa membuka lebih banyak lapangan pekerjaan bagi masyarakat, mengubah kemiskinan menjadi kesejahteraan, kelangkaan menjadi kelimpahan.
Apabila penerapannya dapat diwujudkan secara terintegrasi, kita tidak membutuhkan lagi mereklamasi pantai untuk tujuan apapun ke depannya. Guna dapat berjalan baik, dibutuhkan sinergi diantara para pemangku kepentingan: kemitraan dari masyarakat; swasta; akademisi; peneliti; pakar pembangunan; lembaga nasional dan internasional. Harus! Para stakeholders tersebut secara bersama-sama dapat mendorong dan mengawasi menuju pemanfaatan sumber daya laut yang berkelanjutan serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir. Kuncinya kolaborasi dan integrasi antara dunia pendidikan/riset, pemerintah dan swasta.
Sejauh ini Reklamasi Teluk Benoa belum mencapai titik akhir. Semoga pemerintah tidak hanya memikirkan peningkatan kualitas ekonomi semata, tetapi tetap memikirkan alam lingkungan. Dan budaya Bali dengan ajaran agama Hindu tentang Tri Hita Karana tetap dikedepankan dalam membangun Bali dan pengembangan laut sebagai salah satu investasi terbesar dalam blue economy tetap dilestarikan.