Rumah adalah di mana pun. Ya. Itulah daya hidup para penjelajah alam. Bebas, tak mau berlarut dalam ketidakbahagiaan. Karena alam selalu memberikan keindahan dan kenyamanan.
Sebagai tour leader yang menghabiskan sebagian besar waktunya di Tanah Flores, Komodo, Lombok, dan Bali, saya tentunya ingin melihat keindahan alam Indonesia di daerah lainnya. Akhir Desember lalu, saya bersama teman-teman ‘Genk Komodo’ -Vidia, J. Costa, dan Inro DJ- memenuhi tujuan bepergian tadi. Kali ini tanah Sumba jadi pilihan kami. Sejak kuliah di Universitas Udayana, Bali mereka sudah menjadi kawan saya karena kesamaan hobi: ‘Nature Traveler’. Selain reunian, tentunya bisa sharing budget juga. Benar bukan?
Kami tumpangi kapal PELNI. Saya memulai perjalanan dari Ende, Flores; sementara ketiga kawan saya tadi memulainya dari Bali. Jarak Ende dan Sumba memang tak begitu jauh; kurang lebih 8 – 10 jam menyeberangi laut dengan PELNI AWU. Cukup murah. Anda hanya perlu membayar Rp 65.000,00 . Agar tidak merasa bosan, bawalah buku apa pun untuk dibaca selama perjalanan. Bahkan stok Drama Korea di dalam Ponsel (maniak K-Pop beuhhh). Dan jua mengenal penumpang lain lebih dekat; istilah kekiniannya SKSD (sok kenal sok dekat). Hihihi….
Tepat sehari menjelang perayaan Natal, kami bertemu di Sumba, dan menginap di rumah salah satu keluarga setibanya disana. Begitu terasa suasana kekeluargaan waktu itu. Satu hal yang berkesan adalah tradisi bersalaman Sumba: bacium hidung. Bersalaman dengan menggunakan hidung. Yang hidung pesek jangan coba-coba. Awas sleding. Hahaha….
Esoknya kami pun memulai perjalanan. Pertama, kami berkunjung ke Pantai Walikiri. Berpiknik ria bersama keluarga menjadi pilihan yang tepat di pantai ini. Selain dipenuhi pepohonan kelapa nan rindang, sunset di pantai ini membuat saya terbuai. Hal ini disebabkan adanya pemandangan khas Pantai Walakiri, yakni keberadaan sederetan pohon mangrove kerdil yang menghiasi bibir pantai. Tak banyak, namun berhasil menciptakan siluet yang begitu artistik dan memukau. Perjalanan pulang sore itu pun diiringi sunset dan pemandangan padang savana di kiri dan kanannya.
Hari berikutnya, kami bertualang menuju Bukit Wairinding. Cukup 30 menit untuk sampai ke sana dari kota Waingapu, mengarah ke Sumba Barat, melewati jalanan menanjak-turun-menanjak. Anda akan melihat jalan menikung tajam dan rumah berwarna biru di sisi kanan jalan. Itulah bukit Wairinding. Sore hari menjadi waktu yang tepat karena sudah tidak terlalu panas. Jadi, selain melihat matahari tenggelam, juga bisa dengan seksama menyaksikan Sumba Timur dari ketinggian.
Di hari ketiga, kami memilih kampung adat, tepatnya di Kampung Yawang, Kecamatan Rindi, Kabupaten Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur. Di sana, kampung dibangun lebih tinggi dari jalan umum. Berbentuk segi empat dikelilingi pagar batu. Selain itu, terdapat 10 rumah panggung: sebagian berdinding kayu, lainnya dari kulit kerbau. Banyak kami jumpai kompleks kubur batu di dalamnya. Lebih dari tujuh kubur batu megalitik berdiri megah di tengah kampung.
Dari desa Rindi, permainan kami lanjutkan ke Pantai Watuparunu, kurang lebih 130 km dari kota Waingapu. Memang jauh. Tapi untungnya akses ke sana tidak sulit. Anda hanya perlu mengikuti jalan raya lintas sumba yang licin, lurus dan datar selama tiga jam. Sekilas, ada kesamaan dengan pantai Tanah Lot di Bali: tebing berukir; terletak di sebelah kanan pantai. Jika air sedang tidak pasang tinggi, Anda bisa menyeberang ke sisi sebelah dari gua batu kecil, untuk dapat langsung menuju bawah tebing tersebut. Anda bisa puas berfoto di tebing yang memiliki bentuk seperti pahatan / ukiran karya alam.
Hari terakhir, kami berniat menuju “Air Terjun” kekinian di Sumba Timur. Namun akhirnya harus kami urungkan dikarenakan kondisi medan yang tidak memungkinkan: jalanan licin, serta air terjun yang keruh bercampur air hujan dan lumpur. Akhirnya kami memutuskan untuk mengunjungi Sungai Mbatakapidu yang merupakan anak sungai dari mata air pegunungan. Airnya sangat jernih, sehingga memungkinkan kita untuk meminum langsung dari sumber airnya.
Dan tiba waktunya berburu oleh-oleh khas di sana: kain tenun ikat -yang tak bisa dipisahkan dari tatanan budaya di tanah Sumba. Di Sumba Timur sendiri terdapat pengrajin kain tenun ikat yang masih memproduksi berbagai motif. Silahkan datang ke kampung Kaburu bila ingin melihat proses pembuatannya, atau membelinya langsung di pasar tradisional terdekat sekitar Sumbat Timur.
Hampir semua destinasi di Sumba tidak mengeluarkan biaya (kecuali kampung adat yang kami kunjungi). Akhirnya, harus saya sampaikan agar tidak mudah memberi (uang) selama perjalanan. Ini untuk mendidik mereka supaya tidak berlarut membelenggu pikiran mereka sendiri dengan cara demikian. Itu saya alami dengan anak-anak di Bukit Wairinding. Dan ada hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan selama berwisata. Saya mendapat gambaran jelas setibanya di kampung adat. Maklum, banyak kisah sejarah masa lalu yang tak bisa kita kesampingkan. Jadi sebaiknya harus bertanya pada tetua yang bersangkutan.
Begitulah perjalanan kami di Sumba Timur, NTT. Kelak, kami ingin mengunjungi daerah lainnya di Sumba -seperti Sumba Barat Daya yang dikenal dengan alamnya yang masih sangat alami. Saya ingin menutup cerita tadi dengan kalimat ini, “Jika tak bisa menemukan peluang di tempat kita, berpetualanglah. Setelah kembali, puluhan peluang tiba-tiba terlihat oleh mata kita. Semakin luas tempat bertualang kita, semakin luas pula cara berpikir kita.” Teruslah membuka diri dan berinteraksi dengan alam. Dengan begitu, kita akan menjadi manusia seutuhnya. Have a nice trip! Di tunggu yah cerita perjalanan kalian bebeb-bebeb akyuhh…..
Comments 1
Emang keren banget sih Sumba. Sayangnya dari dulu cuma bisa stalking foto2nya doang di IG hehe. Kapan ya bisa traveling ke Sumba? 🙂